Pemulihan hutan dan daerah tangkapan air jadi satu keniscayaan atasi banjir Sintang

EoF Press Release / 29 December 2021
ilustrasi - salah satu perkebunan sawit di Kalimantan Barat

Banjir Sintang dan sekitarnya di Kalimantan Barat di penghujung tahun 2021 memerlukan solusi dan kerja keras semua pihak dan adanya rencana Pemerintah untuk menata kerusakan lingkungan di sekitar daerah tangkapan air banjir Sintang dan sekitarnya patut didukung dan menjadi catatan akhir tahun yang penting.

Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Sintang (8/12/21) bahwa Pemerintah akan memperbaiki hutan yang rusak akibat imbas pertambangan dan perkebunan, serta menghijaukan kembali daerah tangkapan air perlu didukung menjadi implementasi secara kolaboratif.

"Saya akan perintahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta perusahaan-perusahaan swasta besar yang ada di sini untuk membuat nursery, pesemaian, sehingga penghutanan kembali itu betul-betul bisa bisa berjalan," kata Jokowi saat meninjau korban banjir di Sintang. Diharapkan penghijauan Kembali menjadi program jangka menengah, tambahnya.

"Di daerah aliran sungai, baik Sungai Kapuas, Sungai Melawi, di hulunya ini banyak yang rusak karena hal-hal yang berkaitan dengan pertambangan dan juga kerusakan hutan karena perkebunan," kata Jokowi.

Koalisi Eyes on the Forest (EoF) mendesak perlunya kerjasama tingkat pemerintah maupun parapihak terlibat, termasuk swasta dalam mengatasi permasalahan banjir yang terjadi di kabupaten-kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau dan Melawi.

Rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam mengatasi banjir Sintang yang dipaparkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat juga perlu diapresiasi, karena cukup komprehensif, kata koalisi EoF. “Namun, rencana kerja harus diwujudkan dalam aksi nyata, dan rencana pemulihan hutan dan daerah tangkapan air yang dinyatakan Presiden sejalan dengan hasil analisa Pemprov Kalbar, maupun rencana kerja dalam memitigasi banjir Sintang,” kata Nursamsu koordinator EoF.

Curah hujan tinggi pada Oktober dan November tahun ini ditambah dengan permasalahan daerah aliran sungai (DAS) diduga memicu banjir besar, dimana terakhir banjir besar terjadi pada 1963.

Menurut catatan Pemprov Kalimantan Barat, luas DAS Sungai Kapuas dan Melawi meliputi Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu mencapai 6,2 juta hektar. “Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Kapuas dan Melawi perlu jadi fokus perhatian bersama untuk dipulihkan, dan pemulihan lingkungan yang rusak seperti tekad Presiden Jokowi perlu didukung agar diimplementeasikan di tingkat tapak,” ujar Martin Gillang dari Yayasan Titian, anggota jaringan EoF di Kalbar. 

Selain curah hujan yang ekstrem, penyebab banjir Sintang disebabkan beberapa faktor seperti adanya perubahan DAS dan catchment area lintas wilayah ekoregional akibat adanya perubahan fungsi lahan karena aktivitas ekonomi berbasis lahan (perkebunan, pertambangan dan pertanian), baik berizin atau tidak.

Menurut analisa Pemprov Kalbar, kebakaran hutan dan lahan, serta berkurangnya lahan basah sebagai fungsi resapan dan tangkapan air juga menjadi penyebab banjir. Dataran rendah menjadi titik pusat kegiatan perekonomian, sementara pendangkalan sungai terjadi di meander dan muara DAS (Danau Sentarum dan sub DAS).

Data Provinsi Kalbar menyebutkan luas DAS Kapuas yang kritis mencapai 700.919 hektar dan sangat kritis 14.025 hektar. Sedangkan Daerah Tangkapan Banjir (DTA) yang kritis mencapai 419.684 hektar dan sangat kritis 10.461 hektar.

Berubahnya fungsi hutan dan lahan demi motif ekonomi dianggap memicu banjir di Sintang dan sekitarnya. Betapapun, diperlukan verifikasi lapangan dan legalitas terkait analisa yang juga menjadi kesimpulan Pemprov ini.

“Mengingat banyaknya izin perkebunan di daerah tangkapan air, maka penegakan hukum, pembenahan lahan dan restorasi harusnya dilakukan di daerah tersebut, ujar Martin. “Diminta hendaknya pihak perusahaan memiliki kesadaran dan bersedia berkontribusi dalam mengatasi bencana banjir yang banyak merugikan secara ekonomi dan sosial,” tambah Martin.

Perkebunan sawit dan industri ekstraksi lainnya diminta berperan aktif dalam mengatasi bencana banjir, termasuk menaati peraturan dan kebijakan terkait lingkungan hidup dan tata ruang wilayah. Ketegasan Pemerintah dalam menata hutan dan lingkungan juga perlu diwujudkan sehingga perbaikan lingkungan yang rusak akan menjadi harapan yang nyata.

#SELESAI#