Kebakaran di konsesi APP/Sinar Mas memperparah" "kabut asap regional dan mengancam cagar biosfir" "PBB yang baru"

EoF Press Release / 28 July 2009

Pekanbaru – Data satelit selama enam bulan perama di tahun 2009 menunjukkan bahwa Provinsi Riau memiliki jumlah titik api kebakaran terbanyak di Indonesia, yakni 4.782. Dari jumlah tersebut hampir  seperempatnya  berasal  dari  kebakaran  hutan  dan  lahan  di Riau  yang  terjadi  di dalam konsesi-konsesi yang terkait dengan perusahaan Asia Pulp & Paper milik Sinar Mas Group. Jumlah ini lebih banyak daripada  jumlah titik api di dalam konsesi-konsesi  perusahaan  tunggal lainnya, demikian temuan analisa koalisi LSM Eyes on the Forest.

Kebakaran hutan dan gambut telah melalap sejumlah besar konsesi-konsesi  di Sumatera bagian tengah yang terkait dengan perusahaan APP/SMG, menambah masalah kabut asap regional dan perubahan  iklim  global  serta  menghancurkan  hutan  kaya-spesies  di  Cagar  Biosfir  yang  baru dideklarasikan UNESCO di Provinsi Riau.

Kebakaran  hutan dan gambut merupakan  ancaman utama bagi kesehatan  penduduk Indonesia, keanekaragaman   hayati,  ekonomi  regional  dan  iklim  global.  Kebakaran-kebakaran   itu  sering disengaja sebagai cara cepat dan mudah guna membersihkan  lahan setelah hutan alam dibabat habis sebelum membangun perkebunan. El Niño tahun ini diperkirakan akan berakibat lebih parah terhadap kebakaran hutan dan lahan daripada dua tahun silam. Puncak El Niño diperkirakan jatuh antara bulan September dan Oktober.

Pada bulan Mei tahun ini, APP/SMG mencoba memikat hati masyarakat dengan mengumumkan rancangan pencapaian  konservasi hutan Giam Siak Kecil – Bukit Batu (GSK-BB) sebagai Cagar Biosfir UNESCO. Namun, 20 persen dari semua titik api kebakaran di Riau selama paruh pertama tahun  2009  terjadi  di  dalam  blok  hutan  GSK  yang  asli  dan  separuhnya   terjadi  di  dalam konsesi-konsesi perusahaan APP/SMG, demikian menurut Eyes on the Forest. Data satelit MODIS menunjukkan  bahwa  22 persen  dari titik api Riau  terbakar  di cagar  biosfir  dan  konsesi  terkait APP/SMG lainnya.

“Sebagai pemegang izin, APP/SMG dan perusahaan yang tergabung dengan mereka seharusnya serius bertanggungjawab  mencegah kebakaran seperti itu di dalam konsesi mereka, terlepas dari apakah kebakaran diakibatkan oleh mereka sendiri atau oleh orang lain,” ujar Susanto Kurniawan dari Jikalahari.  “Kami juga mengimbau  APP/SMG  untuk menghentikan  pembangunan  jalan-jalan baru menembus atau dekat hutan alam, menggali aliran kanal dan menebangi hutan gambut alam manapun. Semuanya itu mempermudah kebakaran.”

“Apakah  melalui  kebakaran,  pengaliran  atau  penebangan  hutan  dalam  konsesi  asal  kayunya, APP/SMG adalah kontributor tunggal terbesar terhadap kehancuran hutan alam dan lahan gambut di  ekosistem  GSK yang asli, dimana Cagar Biosfir terbentuk.  Antara 1996 dan 2007, APP telah membangun hutan tanaman kayu pulp sebesar 177.000 hektar, atau 65% dari semua hutan alam yang hilang di ekosistem itu,” ujar Nursamsu dari WWF-Indonesia.

“Hutan-hutan  ini ditebangi  terkadang  tanpa  izin yang  sepatutnya,  dan bahkan  berada  di dalam kawasan  lindung  provinsi,”  ujar  Hariansyah  Usman  dari  Walhi  Riau.  “Lagipula,  mereka  juga kadang-kadang melanggar Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 yang melarang penebangan hutan alam pada lahan gambut berkedalaman  lebih dari 3 meter. APP/SMG  masih meneruskan penebangan hutan yang dipertanyakan keabsahannya di tempat lainnya di Sumatera.

“Kami   mengimbau   pemerintah   memproses   kembali   temuan-temuan   menyangkut   investigasi pembalakan  liar yang baru saja dihentikan,  daripada  menutup  kasus itu. Kami juga mengimbau pemerintah  untuk  mengambil  tindakan  hukum  terhadap  perusahaan-perusahaan   yang  sengaja membakar,” tambah Hariansyah.

Cagar biosfir adalah areal konservasi yang dibuat untuk melindungi keanekaragaman  hayati dan budaya dalam satu kawasan, juga mempromosikan  pengembangan  ekonomi berkelanjutan.  Saat ini, hanya 35% dari 700.000 hektar Cagar Biosfir UNESCO yang merupakan hutan alam; sisanya didominasi oleh hutan tanaman monokultur akasia yang memiliki nilai konservasi sangat rendah.

“Kami  berharap  bahwa  hutan  alam  cagar  biosfir  akan  tetap  terjaga  dan  kestabilan  ekosistem gambut di cagar itu bisa dipulihkan. Agar ini terlaksana, APP perlu menyediakan pengamanan yang sebenarnya  terhadap  kawasan  itu  dan  melakukan  pengelolaan   hidrologis  bertanggungjawab terhadap  kawasan  gambut.  Peta titik api terbaru  secara  jelas menunjukkan  bahwa  perusahaan tidak  melakukan  pengamanan  itu.  Inilah  saatnya  bagi  mereka  untuk  merealisasikan  apa  yang mereka sampaikan,” kata Susanto Kurniawan.

Saat ini, APP tengah dalam perhatian publik terhadap penghancuran hutan alam di lansekap Bukit Tigapuluh  di  Sumatera  bagian  Tengah  (Riau  dan  Jambi).  Sekitar  450.000  hektar  hutan  alam menyatu yang tersisa di kawasan itu adalah rumah bagi satu-satunya populasi orangutan sumatera yang  sukses  dilepasliarkan  di  dunia,  juga  rumah  bagi  seperempat  dari  populasi  liar  harimau sumatera dan gajah sumatera yang tersisa. Dua suku masyarakat asli, Talang Mamak dan Orang Rimba,  juga  menggantungkan  pencarian  mereka  dan  tinggal  di  hutan  ini.  APP/SMG  memiliki rencana-rencana   membabat  habis  lebih  dari  200.000  hektar  hutan  tersebut  jika  Departemen Kehutanan mengizinkannya.

Tahun ini, 100 titik api muncul di Bukit Tigapuluh, di kawasan yang hutan alamnya baru-baru ini ditebangi. Banyak di antaranya terjadi di sepanjang jalan logging baru yang memotong hutan alam, yang dibangun APP/SMG pada 2008 guna mengangkut kayu menuju dua pengolahan pulp raksasa di Riau dan Jambi. Karena baru, jalan logging tersebut mengakibatkan maraknya pembalakan liar dan perambahan terhadap hutan alam, mengancam keselamatan satwaliar dan masyarakat suku asli.

Setiap tahun kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi menyebabkan kabut asap lintas-batas melintasi  kawasan.  Tahun  ini  pemunculan   besar  kebakaran  dimulai  pada  Januari  dan  Mei, mengakibatkan   penambahan   signifikan   jumlah   penduduk   yang   menderita   infeksi   saluran pernafasan   atas  dan  memaksa   ditutupnya   sekolah-sekolah   dan  bandara   serta  penundaan penerbangan.

CATATAN BAGI REDAKSI:

•   Eyes on the Forest adalah koalisi Jikalahari, Walhi Riau dan WWF-Indonesia. Laporan-laporan sebelumnya soal APP dipublikasikan pada www.eyesontheforest.or.id

•   Data kebakaran hutan yang digunakan berasal dari NASA/University of Maryland, 2002.  MODIS Hotspot / Active Fire Detections. Data set. MODIS Rapid Response Project, NASA/GSFC [produser], University of Maryland, Fire Information for Resource Management System  [distributor].  Tersedia secara on-line di http://maps.geog.umd.edu.

•   Analisa titik api kebakaran untuk GSK dan BTp dilakukan di dalam perbatasan hutan alam orisinil di tahun ketika APP/SMG dan perusahaan-perusahaan tergabung mereka memulai menebangi hutan alam  di  kawasan-kawasan ini.  Perusahaan-perusahaan tergabung APP/SMG  mulai  menebangi hutan alam di GSK dan BTp pada 1996 dan 2000, masing-masingnya.

•   Hutan GSK terus  mengerucut sejak  komitmen pertama APP pada  2004  untuk  melindunginya.

Perusahaan audit hutan berakreditasi Forest Stewardship Council (FSC),   SmartWood, disewa oleh APP untuk memantau perlindungannya pada hutan ini, membatalkan kontrak pada 2008 ketika perusahaan audit itu menemukan APP tidak mengambil tindakan guna melindungi hutan – keduanya dari mereka sendiri dan dari pihak lain. http://www.rainforest-alliance.org/forestry/documents/app.pdf.

•   Soal kegiatan-kegiatan APP di kawasan Bukit Tigapuluh, sila lihat: http://eyesontheforest.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=6

Untuk informasi selanjutnya silakan kontak:

-     Afdhal Mahyuddin, EoF Editor; mobile phone: +62-813-8976-8248
-     Hariansyah Usman, WALHI Riau; mobile phone: +62-812-7669-9967
-     Susanto Kurniawan, Jikalahari; mobile phone: +62-812-763-1775
-     Nursamsu, WWF Indonesia, in Riau; mobile phone: +62-812-753-7317

Peta dan Data untuk Mengiringi Siaran Pers Eyes on the Forest